Menelusuri Sejarah Perang Salib
Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi
membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan
pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi
“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal
kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga
mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan
memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat
di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi
ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara
Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana,
para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina
merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam
hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638
M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur).
Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang
melakukan invasi.Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim-yang menguasai Palestina saat itu-menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus. Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang. Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan-terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil-untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!) Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000
serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin
memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan
petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan
pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem). Tentara Salib yang utama berasal dari
Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh
Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang
Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil
menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni
1098. Sepanjang perjalanan menuju
Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga
membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul
Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa
melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099,
mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini
akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina
hingga Antakiyah.
·
Teladan Shalahuddin
Al-Ayyubi
Pada
tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada
Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan
Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin
Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada masa itu,
Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo
(bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni).
Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk
melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu. Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi
petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin
Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada
perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka
dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang
pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati. Shalahuddin lantas menggagas sebuah
festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di
festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar
(perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad. Festival ini berlangsung dua bulan
berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk
berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan
kemiliteran. Salahuddin berhasil
menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam.
Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre,
kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan
terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187). Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald
dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald
akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat
keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan
kekejaman yang serupa. Tiga bulan
setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad
diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki
Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun
berada dalam cengkeraman musuh. Sejarawan
Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu,
Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang
berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas
pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl
ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan
dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu
dayakan.” Permusuhan dihentikan dan
Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an:
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk
Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi,
kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193) .Tak ada satu orang Kristen pun yang
dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah.
Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan
keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan,
meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama
menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat
penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu
orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga. Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang
Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa
digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan
dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi
pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama
perjalanan ke Tyre (Libanon). Shalahuddin
meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis.
Sementara kalangan Nasrani Ortodoks–bukan bagian dari Tentara Salib-tetap
dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu. Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah
pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan
sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum
mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan
anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam
menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama. Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar
kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia
mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan
ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh. Richard terkesan dengan kebesaran hati
Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan
Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197).
Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi
Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama
delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan
antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan
Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul,
Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221.
Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang
merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi
tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir,
Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa.
Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran
Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan)
dikuasai orang Eropa-Kristen.Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang. Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar